BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Batik sebagai bagian dari budaya jawa boleh dikatakan masih cukup kuat
keberadaannya ditengah masyarakat,
karena batik telah diangkat sebagai
pakaian nasional yang mempunyai
ciri
khas
dan
menunjukkan identitas
bangsa,
dikenakan oleh pejabat maupun
masyarakat
luas dalam berbagai acara resmi, bila ditelaah secara mendalam batik menjadi gebyar dan tak lebih dari sekedar pakaian
saja. Karena batik merupakan “Uwoh pangolahing budi” leluhur jawa yang maksudnya batik mengandung filsafat yang mendalam yang
memberikan ajaran kebaikan
(Kalinggo Honggopuro,2002:V).
Kenyataannya batik yang bernilai seni tinggi pada awalnya merupakan
produk kerajinan tangan. Berfungsi
sebagai benda
keperluan
adat atau berfungsi sakral, kini batik sudah dianggap sebagai benda pakai sehari-hari yang
fungsinya lebih praktis terutama
bahan sandang. Pergeseran
fungsi
yang
drastis
ini, antara lain
mengakibatkan banyak bermunculan
sentra industri kerajinan batik, baik dalam
skala besar maupun skala kecil.
Industri kecil dan menengah (IKM) termasuk industri
kerajinan dan
industri rumah tangga yang perlu dibina menjadi usaha yang semakin efisien dan mampu berkembang mandiri,
meningkatkan
pendapatan
mayarakat, membuka lapangan kerja
dan makin mampu meningkatkan
peranannya
dalam menyediakan barang dan jasa serta berbagai komponen baik untuk keperluan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Di Indonesia IKM juga sangat berperan
walaupun
pada awalnya
lebih dilihat sebagai sumber penting kesempatan kerja dan motor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi di daerah pedesaan, di luar sektor pertanian. Tetapi seiring
dengan proses globalisasi dan perdagangan bebas, IKM kini merupakan salah satu sumber penting peningkatan ekspor non migas (Tulus tambunan,2002:1).
Keberadaan industri kecil
di Indonesia masih terjamin dan potensial untuk berkembang, terutama perusahaan kecil di daerah pedesaan (Marbun,
1993:27). Perusahaan kecil di Indonesia dilihat dari potensi dan keberadaannya
ada
harapan
untuk berkembang. Hal ini
didukung usaha
mereka untuk mengembangkan usaha perusahaan dengan cara membuka diri
dan memperbaharui diri serta menyesuaikan gerak hidup usahanya dengan dasar-dasar managemen mutakhir (Marbun:1993:31).
Solo menjadi sentral budaya jawa di Jawa tengah. Seni batik tulis juga
sangat terkenal di daerah Solo, hingga sempat marak istilah perang usaha batik.
Hal ini dikarenakan sesama pengusaha
batik saling bersaing
untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, misal seorang pengusaha batik akan menjual batik dengan kualitas sama tetapi harganya lebih murah bila dibandingkan dengan pengusaha yang lain. Sentra
industri batik Solo yang terbesar di daerah laweyan.
Kampung Laweyan merupakan salah satu kampung yang ada di kecamatan
Laweyan. Menurut
Badan Pusat Statistik Kota Surakarta pada tahun 2002, Kampung Laweyan yang luasnya 0,248 kilometer persegi berpenduduk 2.2425 jiwa (Kompas, 27 September 2004).
Di kawasan laweyan ada kampung Laweyan, Tegal Sari, Tegal Ayu, Batikan, dan Jongke, yang penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang
batik, sehingga pada tahun 1912
didirikanlah
Syarekat Dagang Islam (SDI) yaitu asosiasi pedagang batik pribumi pertama, (http://JawaPalace.org//Kota Solo. Wikipedia.htm. access 22september
2005)
Kurang lebih 95% pengrajin
batik yang ada di kelurahan Laweyan hingga sekarang masih bertahan walau produk yang dihasilkan mengalami
pasang surut. Kemampuan yang dilakukan oleh pengrajin batik tulis untuk
bisa mempertahankan produknya
sampai sekarang
ini disebabkan
karena modal yang disediakan tidak terlalu besar berkisar
antara 1-5 juta rupiah,
tenaga kerja yang digunakanpun juga tidak terlalu banyak antara 5-20 orang.
Disamping itu pemerintah mulai memberi perhatian pada batik tulis
yang dihasilkan oleh pengrajin batik tulis di Laweyan. Perhatian pemerintah itu diwujudkan pada tahun 2005 dengan dicanangkannya hari kamis sebagai
hari batik yang setiap
instansi pemerintah
diwajibkan mengenakan busana
batik. Hal tersebut dilakukan untuk memasyarakatkan batik tulis dikalangan masyarakat umum.(www. Suara Merdeka. Com / harian / 0504 / 20 / Nas 25.htm.4k PNS wajib kenakan batik,27 maret 2006),
Sejauh ini, sebagian besar pengusaha batik
memperoleh omzet Rp 10 juta–Rp 15 juta per bulan, meski ada juga yang beromzet puluhan milyar pertahunnya. Dari jumlah tenaga kerja, seluruh
pengusaha masih tergolong usaha kecil
menengah (UKM) karena
mempekerjakan tidak lebih dari 100 orang.(http://www.gkbi.info/ Batik Laweyan
Minim Inovasi,22 september 2005.
Permasalahan paling sulit yang sedang dihadapi oleh pengrajin batik tulis adalah keterbatasan modal. Kekurangan modal yang dihadapi oleh para pengrajin batik disebabkan oleh keterbatasan
fasilitas-fasilitas perkreditan
khususnya yang diberikan oleh lembaga keuangan formal (bank) maupun lembaga non bank seperti Kredit
Usaha Kecil (KUK), Koperasi. Kesulitan
untuk memperoleh pinjaman
disebabkan jaminan (agunan) yang kurang.
Industri kecil dan menengah dalam kegiatan usahanya tidak lepas dari masalah-masalah yang
dihadapi,
antara
lain
masalah
persaingan
modal, pemasaran, pengadaan bahan baku,
sumber daya manusia.
Alasan dalam penelitian
tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan industri
batik di kawasan sentra batik Laweyan, Solo adalah :
1. Dari beberapa industri batik yang gulung tikar masih ada industri batik yang masih tetap bertahan dan eksis berkembang sampai saat ini bahkan mampu meningkatkan hasil produksinya.
2. Industri batik diusahakan penduduk sebagai mata pencaharian pokok yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan pendapatan keluarga serta membuka kesempatan kerja dan banyak menyerap tenaga kerja khususnya penduduk disekitar kecamatan Laweyan.
3. Adanya program pencanangan kampung batik Laweyan oleh Pemerintah.
Dari ketiga alasan diatas membuat peneliti tertarik untuk melaksakan penelitian pada usaha industri batik di kawasan sentra
industri
batik Laweyan, Solo.
Cara Downloadnya silahkan klik DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar