BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Persediaan (inventory)
adalah aktiva yang dimiliki perusahaan untuk
dijual dalam
operasi bisnis normal atau barang yang akan digunakan
atau dikonsumsi dalam memproduksi barang yang akan
dijual.
Persediaan
merupakan asset yang sangat
penting baik dalam jumlah maupun perannya dalam kegiatan operasional perusahaan, khususnya perusahaan manufaktur.
Pada perusahaan manufaktur setidaknya
terdapat tiga jenis persediaan yaitu persediaan bahan baku,
persediaan barang dalam proses dan barang jadi.
Persediaan
dalam
perusahaan
mempunyai kedudukan ganda yaitu
sebagai unsur harga pokok penjualan
di dalam laporan laba rugi dan sebagai unsur aktiva lancar di dalam neraca.
Tujuan utama dari metode persediaan
adalah untuk memilih asumsi arus biaya
yang paling mencerminkan laba periodik, sesuai kondisi
yang
berlaku.
Asumsi
arus
biaya
memberikan dampak langsung terhadap
neraca, laba rugi, penyajian arus kas serta pajak
yang harus dibayar oleh perusahaan.
Oleh
karena
itu
persediaan
yang
dimiliki selama satu periode
harus dipisahkan mana yang yang sudah dapat dibebankan sebagai biaya (harga pokok penjualan) yang akan dilaporkan dalam laporan laba rugi dan
mana yang masih belum terjual
yang akan menjadi persediaan dalam neraca. Metode persediaan dapat
dilakukan dengan 4 cara yaitu metode Identifikasi Khusus,
Rata-rata, FIFO dan LIFO
(Taqwa, 2003). Masing-masing metode
tersebut
memiliki
karakteristik
tertentu yang membuat
yang
satu
lebih disukai dalam kondisi-kondisi
tertentu.
Penyajian
informasi mengenai persediaan akan
membantu
para investor serta pemakai lainnya
untuk memprediksi arus kas dimasa yang akan datang. Dalam kegiatan perusahaan sehari-hari, jumlah sumber daya persediaan yang
tersedia akan
mendukung arus
kas
masuk melalui penjualan. Dalam kegiatan
normal, jumlah persediaan
yang
ada
akan
mempengaruhi jumlah kas yang diperlukan selama periode berikutnya untuk mendapatkan barang
yang akan dijual
selama periode tersebut. Persediaan
dapat memprediksi baik arus kas masuk dari penjualan maupun arus kas keluar yang diperlukan karena pembelian
barang.
Penelitian ini merujuk pada penelitian Taqwa, dkk
(2003) dan penelitian Mukhlasin (2002). Tahun penelitian Mukhlasin (2002) yaitu tahun
1995 sampai dengan tahun 1999. Pada tahun 1995 dan tahun 1996 keadaan
ekonomi Indonesia dalam
keadaan
cukup
baik,
dalam
keadaan
ekonomi seperti
ini metode FIFO lebih disukai oleh perusahaan. Kinerja
perusahaan manufaktur pada tahun 1995 sampai dengan 1996 pun menunjukkan kinerja yang cukup baik. Pada tahun 1997 sampai dengan
1999
Indonesia
mengalami masa Inflasi. Pada kondisi
inflasi,
banyak
perusahaan
yang
menggunakan metode FIFO beralih
menggunakan metode rata-rata. Kinerja perusahaan manufaktur pada masa inflasi semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Tahun penelitian Taqwa, dkk (2003) yaitu tahun 1997 sampai
dengan tahun 2000, keadaan
ekonomi pada tahun penelitian ini tidak jauh berbeda dengan keadaan ekonomi
tahun penelitian Mukhlasin
dilakukan. Pada tahun 2000 Indonesia juga masih mengalami inflasi. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004.
Pada
tahun
2001
perekonomian Indonesia belum sepenuhnya memuaskan dan masih memerlukan perbaikan. Pada tahun
2002
pertumbuhan kinerja
ekonomi meningkat sehingga memberikan harapan
bagi bangsa Indonesia untuk mempercepat
pemulihan ekonomi diikuti dengan menurunnya tingkat inflasi.
Keadaan ekonomi
Indonesia jauh lebih baik lagi di tahun 2003. Pada tahun 2004 kondisi ekonomi semakin mantap, pada keadaan ekonomi seperti
ini perusahaan lebih memilih menggunakan
metode FIFO. Selama
tahun
2000
sampai
dengan tahun 2004 kinerja perusahaan manufaktur mulai membaik
dari
tahun ke tahun.
Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Untuk itu, maka manajer yang diangkat
oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi sering
ada konflik antara manajer dan
pemegang saham. Konflik
ini disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham.
Sehubungan dengan pemilihan metode persediaan
maka antara manajer dengan pemilik akan timbul konflik
kepentingan (agency theory). Masing- masing pihak,
yaitu pemilik dan manajer
akan berusaha memaksimalkan
kesejahteraannya masing-masing. Pemilik (share holder) akan memilih
metode Rata-rata. Sedangkan manajer akan memilih menggunakan metode FIFO
agar memperoleh laba
yang besar sehingga
kompensasi yang akan
diterima juga akan
menjadi besar.
Apabila
memiliki saham
dengan persentase yang besar maka manajer akan cenderung memilih metode rata- rata yang dapat memperoleh
penghematan pajak.
Semakin kecil ukuran perusahaan, maka semakin besar kecenderungan manajer untuk
memilih metode akuntansi yang menghasilkan laba tinggi. Sementara itu semakin
besar
ukuran
perusahaan,
maka semakin
besar kecenderungan manajer untuk memilih metode akuntansi yang menghasilkan
laba rendah.
Rasio perputaran persediaan yang tinggi menunjukkan jumlah penjualan pada perusahaan
tersebut
tinggi.
Sebaliknya,
rasio
perputaran
persediaan yang
rendah menunjukkan jumlah penjualan
pada perusahaan tersebut
rendah.
Konflik kepentingan antara
manajer dan pemilik perusahaan dapat timbul ketika perusahaan harus memilih metode persediaan mana yang harus
ditetapkan. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan hasil ekonomi yang
diharapkan oleh manajer, pemilik dan pemerintah (Daljono dan Puspitaningtyas, 2005). Pemilihan metode persediaan perusahaan dianggap
melekat dalam keseluruhan masalah untuk memaksimalkan
harga saham yang tergantung pada adanya
peluang investasi dan pembiayaan
(Daljono dan Puspitaningtyas, 2005).
Namun demikian, pertimbangan rasional yang diambil manajemen untuk memilih metode persediaan adalah maksimalisasi nilai perusahaan atau meminimalkan pajak untuk
memperoleh tax saving (penghematan pajak) yang besar tetap berpegang
pada kendala-kendala yang ada, yaitu hukum pajak dan kesempatan produksi-investasi (Mukhlasin,2002).
Pemilihan metode persediaan di Indonesia mengacu pada Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 14 (IAI, 2002, paragraf 20 : 14.5) yang memberikan kebebasan untuk menggunakan salah satu
alternatif
metode persediaan yaitu First In First Out (FIFO), Last In First Out (LIFO)
dan Weight Average (rata-rata). Namun Undang–Undang No. 7 tahun 1983
jo Undang-Undang No. 10 tahun 1994 tentang Perpajakan hanya memperbolehkan penggunaan
metode FIFO atau metode Rata-rata
(Daljono d an Puspitaningtyas, 2005).
Apabila suatu perusahaan dalam laporan
keuangan
menggunakan Identifikasi Khusus atau LIFO maka untuk tujuan pajak harus membuat lagi
dengan metode yang diperbolehkan yaitu metode Rata-rata atau FIFO. Hal ini
menyebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan metode
rata-rata atau
FIFO
untuk laporan keuangannya karena
tidak
perlu
lagi
membuat
untuk tujuan pajak (Taqwa, dkk, 2003).
Metode persediaan FIFO dan rata-rata (Weighted Average)
menggambarkan karakteristik increasing income
dan
decreasing
income.
Metode FIFO menggambarkan increasing income sedangkan metode Rata- rata menggambarkan decreasing income (Rustardy, dkk, 2004). Kelebihan metode FIFO adalah laba menggambarkan arus fisik persediaan,
nilai
persediaan akhir lebih
mendekati current cost,
dan memberikan
suatu nilai aproksiomasi yang lebih tepat atas biaya pokok
pengganti pada neraca bila
tidak ada perubahan harga sejak pembelian terakhir. Di sisi lain,
metode FIFO juga mempunyai kelemahan, yakni laba tidak mencerminkan keadaan sebenarnya karena current cost tidak dibandingkan dengan current revenue dalam perhitungan rugi laba.
Hal
ini
mengakibatkan terjadinya distorsi
dalam laba
kotor
dan
laba
bersih
sehingga
timbul tambahan laba yang
berasal dari perubahan harga yang disebut inflation profit (Abdullah dan Djalil, 2004).
Metode Rata-rata dipandang
realistis dan searah dengan arus
fisik
persediaan, khususnya jika suatu
pencampuradukan (intermingling)
dari
unit-unit persediaan yang identik.
Ini berarti bahwa di saat sulit atau tidak mungkin mengidentifikasi arus fisik persediaan, maka merata-ratakan harga pokoknya merupakan cara yang paling tepat. Tidak seperti metode lainnya, metode ini memberikan kos yang sama, sehingga
dianggap paling
cocok diterapkan untuk persediaan yang fungsi atau kegunaannya mirip/ sama,
sehingga dianggap paling cocok diterapkan untuk persediaan yang relatif
homogen. Dengan metode ini tidak dapat dilakukan
manipulasi laba melalui persediaan dan bersifat objektif (Abdullah dan Djalil, 2004). Keterbatasannya adalah nilai persediaan secara
terus-menerus mengandung
pengaruh dari kos paling awal dan nilai-nilai tersebut bisa mempunyai lag
yang signifikan di belakang
current price dalam periode yang mengalami
perubahan harga yang sangat cepat,
naik atau turun (Abdullah dan Djalil,
2004). Dalam kondisi
harga meningkat, metode FIFO akan menghasilkan nilai persediaan akhir yang tinggi dan harga pokok
penjualan yang rendah, sehingga laba bersih menjadi tinggi (Rustardy, dkk, 2004). Sementara itu metode
Rata-rata akan menghasilkan laba akuntansi yang cenderung lebih stabil dan lebih kecil dibandingkan dengan metode FIFO karena menggabungkan seluruh price inflow
(Mukhlasin, 2002). Kondisi
inflasi, bagi pemilik, metode Last
In First Out (LIFO) lebih disukai karena
akan mengurangi cash
outflow berupa bonus dan pajak, sedangkan metode First In First Out (FIFO)
lebih
diinginkan
manajer karena metode ini akan meningkatkan laba perusahaan yang berarti kinerja
(performance) yang baik bagi manajer dan bonus yang akan diterima (Widyastuti, 2004).
Telah banyak
dilakukan
penelitian
untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode persediaan. Penelitian ini menguji ulang penelitian Taqwa, dkk (2003)
dan penelitian Mukhlasin (2002).
Penelitian Taqwa, dkk, (2003) dilakukan pada periode 1997 sampai dengan 2000. Penelitian ini menggunakan variabel independen
yaitu struktur kepemilikan,
ukuran perusahaan, financial leverage,
variabilitas persediaan dan rasio lancar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
ukuran perusahaan dan variabilitas
persediaan memberikan
berpengaruh secara signifikan
terhadap pemilihan metode akuntansi persediaan. Tetapi struktur kepemilikan, financial leverage,
variabilitas
persediaan dan rasio lancar tidak memberikan
pengaruh
yang
signifikan
terhadap pemilihan
metode akuntansi persediaan.
Penelitian Mukhlasin (2002) dilakukan
selama periode 1995 sampai
dengan 1999.
Penelitian ini menggunakan variabel
independen variabilitas
persediaan, variabilitas laba akuntansi, ukuran perusahaan, intensitas modal, intensitas persediaan dan variabilitas harga pokok penjualan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, intensitas
persediaan dan variabilitas harga pokok
penjualan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap pemilihan
metode akuntansi persediaan. Sedangkan variabilitas persediaan, variabilitas laba akuntansi dan intensitas modal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan metode akuntansi persediaan
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan
pengujian kembali faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan metode persediaan.
Peneliti tertarik untuk mengambil judul : “ANALISIS PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN, UKURAN PERUSAHAAN DAN
RASIO PERPUTARAN
PERSEDIAAN TERHADAP PEMILIHAN METODE PERSEDIAAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR GO PUBLIC DI BEJ”.
Cara Downloadnya silahkan klik DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar